Tinju dan Harga Darah Seorang Muslim
Zaman modern melahirkan banyak bentuk hiburan dan kompetisi yang diklaim sebagai “olahraga”. Di antaranya adalah pertandingan tinju — dua orang saling memukul hingga salah satunya tersungkur atau bahkan terluka parah. Sebagian kaum Muslimin menganggapnya permainan yang sportif, bahkan menjadikannya sebagai tontonan rutin. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap tinju yang menyebabkan pertumpahan darah antara sesama Muslim?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,
لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum Muslimin.” (HR. Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676)
Hadis ini menjadi pondasi agung dalam menjaga kehormatan nyawa seorang Muslim. Darah seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga keadaan yang ditetapkan oleh syariat — bukan karena adu kekuatan, bukan karena olahraga, apalagi karena gengsi duniawi.
Haramnya darah seorang Muslim
Dalam khotbah haji wada‘, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadapan para sahabat,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah), dan negeri ini (Mekah).” (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 30)
Perhatikan bagaimana Nabi membandingkan kehormatan darah seorang Muslim dengan kesucian kota Mekah. Seolah beliau berkata, “Sebagaimana kalian tidak boleh menumpahkan darah di tanah haram, begitu pula kalian tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim di mana pun.”
Maka, menyakiti, memukul, atau melukai tubuh seorang Muslim tanpa hak adalah dosa besar, meskipun dilakukan atas dasar “olahraga” atau “latihan”.
Antara hiburan dan pelanggaran syariat
Dalam tinju profesional, dua orang saling berhadapan dengan tujuan menjatuhkan dan melumpuhkan lawan. Kemenangan ditentukan bukan oleh kecerdasan, ketangkasan, atau strategi semata, tetapi oleh kemampuan melukai lawan. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ
“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)
Bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman tega memukul wajah saudaranya sendiri, padahal Nabi bersabda,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ
“Apabila salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka hendaklah ia menghindari (memukul) wajah.” (HR. Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Dalam hadis ini Nabi melarang keras memukul wajah — bahkan dalam pertikaian spontan — karena wajah adalah tempat kehormatan manusia. Maka lebih terlarang lagi jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja, diatur, dan menjadi tontonan publik.
Tinju bukan olahraga yang dibenarkan syariat
Islam tidak menolak olahraga. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk kuat dan terlatih secara fisik. Beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, 8: 260.)
Namun, kekuatan yang dicintai Allah bukanlah kekuatan yang diperoleh dengan menyakiti atau menzalimi orang lain. Islam hanya membenarkan olahraga yang:
- Melatih tubuh tanpa merusak anggota badan,
- Tidak menampakkan aurat,
- Tidak menimbulkan permusuhan,
- Tidak mengandung unsur haram seperti taruhan dan penganiayaan.
Tinju modern gagal memenuhi semua kriteria ini:
- Ia menjadikan luka dan darah sebagai bagian dari permainan,
- Mempertontonkan aurat dan kehinaan,
- Menyulut ego, permusuhan, dan kebanggaan jahiliah.
Oleh karena itu, para ulama seperti Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh [1] dan Syekh Ibnu Baz rahimahumallah [2] menjelaskan bahwa tinju (boxing) termasuk olahraga yang diharamkan, karena mengandung unsur bahaya fisik, pelanggaran kehormatan, dan penumpahan darah tanpa hak.
Darah seorang Muslim lebih mulia dari dunia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, dikatakan shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram, no. 439)
Jika membunuh seorang Muslim lebih berat dosanya daripada hancurnya dunia, maka melukai dan menumpahkan darahnya tanpa hak pun termasuk dosa besar, meski tidak sampai menyebabkan kematian. Para ulama menjelaskan bahwa menyakiti seorang Muslim, bahkan sekadar menamparnya tanpa sebab yang benar, sudah termasuk kezaliman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64)
Jika hanya mencaci saja sudah termasuk dosa besar, maka memukul dan menumpahkan darah saudaranya tentu lebih berat lagi dosanya.
Sikap seorang Muslim yang benar
Bagaimana jika seseorang diajak bertinju di atas ring?
Seorang Muslim yang memahami agamanya akan menjawab dengan lembut namun tegas, “Aku tidak akan memukul saudaraku hanya demi hiburan. Rasulullah telah mengharamkan darah sesama Muslim.”
Menolak tantangan semacam itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti keteguhan iman dan ketinggian akhlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat itu yang mampu mengalahkan orang lain dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 6114, Muslim no. 2609)
Kekuatan sejati bukan diukur dari pukulan atau kecepatan tinju, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri dan menahan emosi. Itulah kekuatan yang Allah cintai dan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang jahiliah.
Jagalah darah dan kehormatan saudaramu
Tinju mungkin tampak sebagai olahraga di mata manusia, tetapi sejatinya ia mengandung kekerasan dan keburukan yang bertentangan dengan ruh Islam. Menyakiti sesama demi gengsi, hiburan, atau kemenangan hanyalah menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kendali diri. Islam tidak memuliakan tangan yang memukul, melainkan hati yang mampu menahan amarah dan menjaga kehormatan saudaranya.
Lebih mulia bagi seorang Muslim untuk menolak ajakan bertarung dan memilih menjaga diri serta saudaranya dari bahaya. Menahan tangan dari menyakiti orang lain adalah tanda kekuatan iman dan kematangan jiwa. Orang yang mampu menundukkan egonya dan menolak kekerasan sesungguhnya lebih gagah daripada mereka yang menang di atas ring.
Hidup seorang Muslim adalah untuk menebar rahmat, bukan menoreh luka. Kekuatan sejati bukan pada kerasnya pukulan, tetapi pada lembutnya hati yang menjaga persaudaraan. Maka, jadilah hamba yang memelihara darah dan kehormatan saudaranya, karena di situlah letak kemuliaan yang sejati.
Wallahu a‘lam bish-shawâb.
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] “Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” (Ensiklopedia Fikih / Ad-Durar as-Sunniyyah), Bab “الفَصْل الثَّامِنُ: المُلاَكَمَةُ”
[2] Majmû‘ Fatawa wa Maqâlât Mutanawwi‘ah Ibn Baz, hal. 393.
Artikel asli: https://muslim.or.id/110181-tinju-dan-harga-darah-seorang-muslim.html